Kata “Kami” bermakna bahwa dalam mengerjakan
tindakan tersebut, Allah
melibatkan unsur-unsur makhluk (selain diri-Nya
sendiri). Dalam kasus nuzulnya al-Qur’an, makhluk-makhluk yang terlibat dalam
pewahyuan dan pelestarian keasliannya adalah sejumlah malaikat, terutama
Jibril; kedua Nabi sendiri; ketiga para pencatat/penulis wahyu; keempat, para huffadz
(penghafal) dll.
Contoh
“Sesungguhnya Kami telah turunkan al-Zikr
[Al-Qur'an] dan Kami Penjaganya
Allah sering menggunakan kata Kami; artinya, rezki
harus diusahakan oleh manusia itu sendiri, walaupun kita juga yakin bahwa rezki
sudah ditentukan oleh Allah.
Ayat yang menggunakan kata Kami biasanya
menceritakan sebuah peristiwa besar yang berada di luar kemampuan jangkauan
nalar manusia, seperti penciptaan Adam, penciptaan bumi, dan langit. Di sini,
selain peristiwa itu sendiri yang nilai besar,
Allah sendiri ingin menokohkan/memberi kesan “Kemahaan-Nya”
kepada manusia, agar manusia dapat menerima/mengimani segala sesuatu yang
berada di luar jangkauan nalar/rasio manusia.
“Sesungguhnya KAMI telah menciptakan kamu (Adam),
lalu KAMI bentuk tubuhmu, kemudian KAMI katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah
kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka
yang bersujud” ([al-A’raf 7:11)
Sedangkan ketika Allah menggunakan kata
"Aku", Allah sedang menegaskan ketunggalan-Nya, hanya Dia,
keunikan-Nya. Jadi ketika Allah mengatakan "ayaati (ayat-ayat-Ku) di
beberapa tempat dalam Al-Qur'an, bukannya "ayaatiina (ayat-ayat
Kami)" sebagaimana yang digunakan di banyak tempat yg lainnya dalam
Al-Qur'an, Allah ingin menegaskan bahwa semua tanda-tanda, semua ayat-ayat itu
adalah milik-Nya semata. Juga ketika mengisahkan mengenai kutipan percakapan
Allah dengan nabi-nabi terdahulu seperti Musa as dan Ibrahim as, kata
"Aku" juga banyak digunakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar